3 Cerita Pendek Tentang Bullying di Sekolah, Media Penyampai Pesan Moral

Read Time:5 Minute, 59 Second

gospelangolano.com, Jakarta Bullying atau perundungan merupakan fenomena sosial yang telah lama menjadi perhatian di berbagai lingkungan, khususnya lingkungan sekolah. Fenomena ini bukan sekadar konflik antarpribadi, melainkan tindakan agresif yang dilakukan berulang-ulang, disengaja, dan dimaksudkan untuk menyakiti, mempermalukan, atau mendominasi orang lain secara emosional, fisik, atau mental. Penindasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan verbal dan fisik hingga ancaman online.

Kekerasan di sekolah masih tersebar luas di banyak negara. Anak-anak dan remaja seringkali menjadi korban kekerasan ini. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara individu, namun juga berpotensi mempengaruhi iklim lingkungan sekolah secara keseluruhan.

Kita harus ingat bahwa bullying bukanlah perkara sederhana. Ini adalah praktik yang berbahaya dan harus dihentikan. Pencegahan dan pemberantasan bullying harus dilakukan secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan.

Salah satu cara untuk menyampaikan pesan moral tentang pentingnya mengakhiri perundungan adalah melalui cerita pendek. Cerita pendek tentang intimidasi di sekolah tidak hanya dapat menarik perhatian pembaca, namun juga menantang mereka untuk memahami dampak negatif dari perilaku intimidasi dan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan saling menghormati.

Melalui cerita pendek tentang bullying di sekolah, kita dapat menunjukkan akibat dari tindakan tersebut baik bagi korban maupun pelakunya. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak masyarakat yang sadar akan bahaya kekerasan dan siap mengambil tindakan nyata untuk mencegahnya. Berikut cerita singkat tentang bullying di sekolah yang dihimpun gospelangolano.com pada Jumat (5/4/2024) dari berbagai sumber.

Langit cerah menyambut awal minggu di SMA Bumi Kita hari itu. Namun bagi Diana, senyumannya adalah beban yang tidak akan pernah dia lepaskan. Mulai minggu lalu, dia di-bully oleh sekelompok siswa di kelasnya. Penindasan bersifat verbal, bukan fisik.

Saat bel pintu berbunyi, Diana merasakan perutnya mual. Ia menghindari pandangan sekelompok anak-anak yang selalu mengolok-oloknya. “Salam, Diana Sang Penakluk!” teriak seseorang dengan suara rendah. Diana hanya bergegas kembali ke kelasnya sambil menahan air matanya karena ingin menjadi bodoh.

Diana duduk sendirian di belakang kelas. Teman-temannya menghindarinya karena takut menjadi sasaran kekerasan. Saat istirahat, dia akan bersembunyi di kamar mandi, berharap tidak ada yang menemukannya. Namun tindakan tersebut menuai kritik dari siswa lain yang mengetahui Diana memiliki kebiasaan menghindarinya.

Diana semakin parah setiap hari. Prestasinya di sekolah menurun, ia merasa tidak mempunyai teman, dan yang lebih parah lagi, ia mulai meragukan kemampuannya. Pada suatu hari libur, Diana sedang duduk di bangku taman sekolah sambil menatap ruang di depannya. Dia ingat perkataan ibunya, “Jangan biarkan suara negatif orang lain menilaimu. Kamu lebih dari apa yang mereka katakan.”

Diana berdiri dari taman dengan tekad. Dia memilih untuk tidak membiarkan pelecehan mengatur hidupnya lagi. Diana mulai terbuka kepada teman-teman sekelasnya yang lebih memahami situasinya. Dia juga meminta dukungan dari gurunya. Seiring berjalannya waktu, Diana mulai memperhatikan perubahan positif pada dirinya.

Bulan-bulan berlalu, Diana tidak lagi menghindari sorotan publik. Rasa percaya dirinya semakin bertambah, ia mempunyai teman-teman yang suportif, dan prestasinya pun mulai membaik kembali. Kelompok siswa yang menindasnya bahkan mulai menghormati Diana atas kegigihan dan perubahan positifnya.

Kisah Diana mengajarkan kita bahwa meskipun terkadang kita merasa tidak enak karena kata-kata kasar atau perlakuan negatif dari orang lain, kita selalu mempunyai kekuatan untuk berdiri dan membuktikan nilai kita. Suara-suara negatif hanya bisa dijadikan bahan latihan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih baik.

Berfokus pada kisah Ryan, seorang remaja di SMA Harapan. Rian merupakan murid yang pendiam, rajin belajar dan selalu berusaha bersikap tenang saat berada di dekatnya. Namun hidupnya berubah drastis ketika dia diintimidasi secara fisik di sekolah.

Semua bermula ketika Rian tidak sengaja menginjak kaki salah satu rombongan anak pelajar mesum yang dipimpin oleh seorang pria bernama Fadli. Tanpa sempat menjelaskan, Fadli dan kawan-kawan langsung berasumsi bahwa Ria sengaja melakukannya. Dia mulai mengancam dan menyerang Rian secara fisik.

Rian diancam, diejek, dan dipukuli setiap hari oleh Fadli dan komplotannya. Teman-teman sekelasnya hanya bisa melihat dari kejauhan karena takut menjadi korban. Rian terpojok dan tidak punya tempat untuk bersembunyi.

Semakin hari, kondisi Rian semakin parah. Dia mulai takut bersekolah, prestasi akademisnya menurun, dan yang paling menyedihkan, dia mulai merasa bahwa hidupnya tidak lagi bermakna. Suatu hari, saat Fadli dan teman-temannya diancam dan terpojok di koridor sekolah, Rian memutuskan untuk bertindak berani.

“Dengar,” kata Rian dengan suara gemetar namun berani. “Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Kamu tidak mengerti. Hentikan semuanya.”

Namun Fadli malah tertawa enggan. “Kamu pikir aku akan percaya omong kosongmu? Kamu adalah target kami. Sekarang kami akan menghancurkanmu!”

Tiba-tiba, suara keras memecah kesunyian koridor. Guru merasakan keributan itu dan segera mendatangi mereka. Melihat guru tersebut, Fadli pun melarikan diri bersama kelompoknya. Rian lemas di tanah.

Dengan bantuan guru dan beberapa siswa pemberani, Rian akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Para guru dan pihak sekolah menindak tegas Fadli dan kelompoknya dan dihukum sesuai perbuatannya.

Setelah kejadian itu, Rian mendapat banyak dukungan dari teman-teman dan gurunya. Dia juga menerima konseling untuk pulih dari trauma pelecehan. Meski prosesnya tidak mudah, Rian menemukan kekuatan untuk bangkit dan menolak menjadi korban lagi.

Kisah Ria menunjukkan betapa pentingnya keberanian untuk bersuara dan meminta bantuan ketika menjadi korban kekerasan fisik. Dengan dukungan dan tindakan yang kuat dari sekolah dan masyarakat, kita dapat mencegah perundungan sehingga setiap siswa dapat belajar di lingkungan yang aman dan mendukung.

Sekolah Senja Gemilang selama ini dikenal dengan tingkat inklusivitas dan keberagaman yang tinggi. Namun di balik kecantikan itu ada seorang siswi bernama Maya yang sedang melewati masa-masa sulit. Maya adalah seorang siswa berkulit gelap sehingga membuatnya menjadi sasaran bullying di sekolah.

Di hari pertamanya pindah ke Senja Gemilang, Maya dibuat terharu dengan kebaikan teman-teman barunya. Tapi senyuman itu menghilangkan kekhawatiran selama berminggu-minggu. Sekelompok siswa yang terdiri dari beberapa anak kasar mulai mengolok-olok warna kulit Maya, melontarkan komentar rasis.

“Mereka memanggilku ‘hitam’, ‘jahat’ dan hal-hal kasar lainnya,” keluh Maya sambil terisak-isak melihat nasibnya di kamar. Meski dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, rasa sakit itu tetap ada di hatinya.

Bahkan di kelas, beberapa siswa menghindari Maya dan tidak bekerja sama dengannya dalam kerja kelompok. Guru di sekolah berupaya untuk mengedepankan toleransi dan keberagaman, namun sulit mengubah pola pikir sebagian siswa yang terbiasa berpikiran sempit dan berprasangka buruk.

Suatu hari Maya bertemu dengan murid baru bernama Anisa. Anisa memiliki warna kulit Maya dan mereka langsung menjalin persahabatan. Anisa lah yang justru mendengarkan cerita Maya tentang pelecehan yang dialaminya.

“Dengar, Maya,” kata Anisa tegas. “Anda tidak sendirian. Kita harus bersatu dan membuktikan bahwa warna kulit tidak menentukan siapa kita.”

Dengan dukungan Anisa, Maya berani menghadapi cemoohan dan penolakan terus menerus. Keduanya memutuskan untuk mengambil tindakan dengan merekrut teman-teman suportif mereka di sekolah dan membuat kampanye anti-intimidasi.

Melalui poster, diskusi dan kegiatan lainnya, Maya dan Anisa Senja berhasil menarik perhatian banyak siswa dan guru di Gemilang. Hal ini telah membuka mata banyak orang akan pentingnya menghargai perbedaan, melawan prasangka dan menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua.

Akibatnya sikap dan perilaku siswa mulai berubah, terutama karena warna kulit Maya. Mereka mulai memahami bahwa perbedaan bukan untuk mempermalukan atau mempermalukan orang lain, melainkan untuk bersikap aktif.

Maya dan Anisa adalah contoh nyata bagaimana ketika kita bersatu dan bertindak bersama, kita dapat mengatasi bias dan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi semua orang, tanpa memandang warna kulit atau penampilan.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post 65.000 Santri Siap Tempuh Ujian Kesetaraan Nasional PKPPS 2024
Next post Universitas MH Thamrin Resmikan Pusat OSCE