CISDI Sayangkan Isu Kesehatan di Debat Capres Terakhir Belum Menyentuh Akar Permasalahan

Read Time:3 Minute, 6 Second

gospelangolano.com, Jakarta – Pembahasan isu kesehatan pada debat calon presiden terakhir pada Minggu, 4 Februari 2024 malam dinilai sudah kehilangan akar permasalahan. Hal tersebut diungkapkan oleh pendiri dan direktur Center for Strategic Development Initiative Indonesia (CISDI), Diah Satyani Saminarsih.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Health gospelangolano.com pada Kamis, 8 Februari 2024, Diah mengatakan, “Isu yang dibicarakan dalam debat capres masih sebatas permukaan dan belum menyentuh akar permasalahan organisasi.” .

Seperti diketahui, malam itu dalam debat calon presiden dibahas isu-isu kesehatan seperti eksploitasi, pelayanan kesehatan dasar, kesehatan sumber daya manusia, dan kelompok miskin. Terkait pembahasan ini, CISDI menyayangkan penjelasan para calon presiden yang kurang mendalam. Faktanya, banyak terjadi miskonsepsi atau mispersepsi terhadap berbagai masalah kesehatan.

Ketiga pasangan calon (paslon) tersebut dinilai masih berbicara pada level referensi, belum menyentuh arah strategis pembangunan kesehatan seperti kebijakan anggaran, sistem kesehatan, dan manajemen kesehatan. Diah menambahkan, salah satu permasalahan kompleks yang belum dieksplorasi secara mendalam adalah pemutusan hubungan.

Soal kolom pertama kali disinggung oleh Prabowo Subianto. Calon Presiden nomor urut 02 dalam pemaparan visi dan tugasnya mengatakan, pemberian makanan bergizi bisa menjadi solusi mengatasi kelemahan. Dalam sesi tanya jawab antara Prabowo dengan calon presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo, topik growthbreeding kembali dibahas.

Diah mengatakan permasalahan kesehatan, khususnya obesitas, tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberikan makanan atau minuman gratis. Salah satu akar masalah obesitas adalah faktor sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan perempuan.

Beban yang berulang-ulang dialami perempuan, hubungan kekuasaan yang tidak setara, bias gender, bias sosial, dan infrastruktur yang buruk membuat perempuan sulit mengambil keputusan mengenai kesehatan mereka dan anak-anak mereka. Faktor-faktor lain yang terkait adalah: Rendahnya status sosial-ekonomi keluarga Rumah dengan toilet yang tidak memadai Air minum yang tidak diolah Buruknya akses terhadap layanan kesehatan di banyak daerah.

Menurut Diah, permasalahan pangan di Indonesia sebenarnya lebih luas dari pilarnya. Ini termasuk kelebihan berat badan atau obesitas, kurus dan kurang gizi. Masalah gizi tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko seperti konsumsi makanan atau minuman tinggi gula, garam, lemak (GGL) dan produk tembakau. Untuk memperkuat dampak positif perubahan gaya hidup, penggunaan alat cukai menjadi penting. Tentang sumber daya manusia kesehatan

Isu lain yang mengemuka dalam perdebatan terakhir adalah program tenaga kesehatan (HRK). Beberapa kali para calon berbicara tentang kekurangan dokter.

Kandidat no. 02 ingin menambah departemen medis, tidak. calon no. 01 juga menyetujui pemberian hibah kepada dokter jika tujuannya untuk meningkatkan kapasitas kerjanya. Sedangkan paslon 03 rencananya akan memiliki satu tenaga kesehatan di satu puskesmas di setiap desa. Kelas kedokteran di Indonesia

Dari segi volume, jumlah dokter keluarga di Indonesia masih belum memenuhi rekomendasi WHO yaitu rasio satu dokter per 1.000 penduduk. Pada tahun 2022, proporsi dokter umum di Indonesia hanya 0,84 per 1.000 penduduk.

Selain itu, penerapan sembilan jenis SDMK di layanan kesehatan primer masih berjalan dengan baik. Puskesmas yang memiliki sembilan jenis HRK lengkap di Indonesia hanya 42,67 persen dari total 10.374 puskesmas pada tahun 2022.

Jumlah tersebut jauh dari target pemerintah sebesar 83 persen pada tahun 2024. Artinya, jumlah dan keterampilan HRK serta dokter perlu ditingkatkan.

Diah menjelaskan, persoalan kekurangan sumber daya manusia memang harus dilihat dari sisi persoalan produksi dan distribusi.

Pertambahan jumlah jurusan dan beasiswa ditujukan untuk permasalahan produksi, untuk menyeimbangkan HRK juga perlu solusi dalam hal pendistribusiannya.

Distribusi HRK yang tidak merata erat kaitannya dengan belum adanya kebijakan yang menjamin hak HRK atas lingkungan kerja yang layak.

Seperti kebijakan yang mengatur keselamatan, struktur upah yang adil, kemajuan karir, keamanan kerja dan integritas infrastruktur.

Penambahan pekerjaan yang dilakukan SDMK akan berdampak pada penyediaan lingkungan kerja yang sesuai serta menurunkan kualitas pelayanan. Pembagian beban kerja (rotasi tugas) harus segera dilakukan agar sumber daya manusia baik tenaga kesehatan maupun tenaga kesehatan tidak kewalahan. Penggunaan teknologi informasi juga harus didorong untuk mengurangi beban administratif.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Australia Jadi Negara Tujuan Favorit Orang Indonesia untuk Melanjutkan Pendidikan
Next post 4 Tips Mencegah Mobil Terbakar Saat Perjalanan